Tahukah, belakangan ini saya semakin menyadari satu pelajaran berharga,
yaitu bagaimana untuk menjadi orang yang be zero expectation. Ya, zero
expectation atau bisa dibilang don't be too much expectation (meski beberapa
orang menyatakan itu berbeda) artinya memposisikan diri untuk tidak
terlalu berharap dengan suatu keadaan. Sikap seperti ini bukan berarti
pasrah, tapi tetap berharap hanya saja mempersiapkan diri untuk bisa
bergaul dengan semua kondisi. Menerima bukan karena tidak mau berusaha
mengubah tapi memang belum memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk
mengubahnya.
Be zero expectation saya rasakan sangat berguna saat memutuskan untuk
meninggalkan rumah dan menuntut ilmu di kota Padang. Tinggal di kos yang tidak
mendukung kegiatan saya, tapi saya putuskan bertahan saat semua teman
mendesak saya untuk meninggalkan rumah itu. Saya punya teman disana.
Alhasil, saya terpaksa bersabar dan akhirnya berhasil keluar dengan
ijazah sarjana di tangan.
View from Merdeka Square, MY |
Hal ini juga semakin diuji saat saya berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menjadi volunteer di sebuah panti asuhan India yang belum pernah
saya bayangkan sedikitpun, terlebih karena satu keteledoran kecil VP
saya disana (dia lupa membawa kamera) sehingga dia tidak bisa memberi gambaran real mengenai kehidupan saya disana. Beruntung saya punya
teman-teman baik di AIESEC yang selalu memberikan support dan menekankan untuk
don't be too much expectation dengan kehidupan kita disana.
With Agathians Childreen and my buddy, tunit :) |
Berangkat ke
KL, saya sama sekali tak bisa memperkirakan kalau kehidupan disana akan
menjadi sangat diversity, dengan anak-anak India dan Chinese, dan
tempat tinggal kami yang sederhana. Awalnya saya berontak, tapi karena
prinsip diawal tadi saya akhirnya mampu menikmati bahkan akhirnya
menjadi sangat bersyukur karenanya.
Begitulah, perjalanan terus berlanjut, and now.. I call you live from
Yogyakarta guys!. Hidup disini meski hanya sekejap, belum pernah saya
bayangkan. Bayangan Jogja awalnya sedikit membuat cemas karena
kenyamanan yang saya peroleh di Karawang dan Subang. Oh, saya belum
bilang ya kalau saya berada di kota tersebut untuk menjalani training
disebuah perusahaan dan sejauh ini saya sudah melewati dua kota.
Persinggahan saya yang pertama, Karawang. Awalnya saya memang sudah
nyaris pasrah dengan 2 minggu disana. Ternyata kondisinya cukup
menyenangkan apalagi saya tinggal dengan seorang teman. KOA Karawang,
mas dimmas, orangnya cukup asik dan bisa diajak bercanda. Dia juga
dengan baik hati memberikan kiat-kiatnya untuk lulus tes di HO.
Yosi and I, in front of Masjid Raya Karawang |
Setelah Karawang saya kembali ke Jakarta untuk tes lagi. Alhamdulillah
lulus dan saya terlempar ke suatu tempat baru, Subang!. Saya bimbang
karena saat itu sudah sendiri dan harus tinggal di tempat yang sama
sekali asing. Saya pasrah....
Do you know how's my life goin' then? Selalu ada hikmah dibalik kepasrahan
pada Allah, kawan. I found Subang is amazing! Awalnya memang
meraba-raba, tapi memang sudah seharusnya begitu kan. Kemudian saya
mulai terbiasa dengan kehidupan disana, saya bahagia bisa mengenal
orang-orang ini. Melihat tawa teh ovi, kelucuan teh lilis,diamnya mba
dwi, keseriusan dan kelapangan kakak diana dalam membimbing saya (jujur
awalnya saya berpikir ibu diana ini sudah beneran ibuk2 dan sulit
didekati,hehe), pak geri yang selalu tersenyum, dan keceriaan
kawan-kawan dibawah; dini, vera, buyuni, bulia dan semua karyawannya..
Kebaikan mereka membuka mata saya, membuat saya sadar
terkadang memiliki sikap yang zero expectation itu sangat penting dalam
hidup. Mempunyai perkiraan yang nyaris nol, membuat kita menyadari
pentingnya menghargai kebaikan oranglain. Memandang sesuatu dari titik
terendahnya membantu kita menghargai sedikit saja pergerakan titik itu,
berusaha menikmati
positifnya, disisi lain menyiapkan diri dengan ke-negativan-nya. Kenapa
saya bilang begitu, karena saya pun sadar, zero expectation bukan
berarti positif atau negatif, mereka bisa saja menjadi negatif dan tidak
menyukai keberadaan saya. Tapi toh teman-teman Subang bersikap
sebaliknya, they are nice.
Family of SML Subang :D |
Dengan bekal perintah dari atasan di kantor, saya pindah domisili lagi, kali ini
jogja jadi tujuan. Kenapa? Itulah pertanyaan dasarnya. Apa saya tidak
akan ditempatkan di AML seperti kata pak GM sebelumnya? ini karena saya
tahu Jogja merupakan salah satu SML terbaik saat ini. Ini sama saja
artinya 75% akan ditempatkan di SML, bukan di AML seperti harapan saya.
Tapi jujur, masalah sebenarnya saat itu bukan karena unitnya, bukan karena SML atau AML, tapi
karena saya terlanjur nyaman dengan Subang, saya takut Jogja tidak akan
senyaman disini.
Bagaimanapun, kehidupan harus terus bergulir kan.. Di perjalanan saya
malam itu, dengan kereta api Taksaka Malam yang membawa saya ke Jogja
saya bertekad saya akan memaksakan diri menerima kondisi disana. Saya
sendiri sebenarnya juga bukan terlalu pasrah, bagi saya zero expectation
juga harus punya limit, sebisa apapun saya menerima kondisi baik atau
tidak baik saya tetap harus punya batasan. Setiba di Jogja kejutan
pertama menunggu, ternyata mba sisca (namanya yang sama membuat saya
seperti bicara dengan diri sendiri, haha) KOA Jogja ini orangnya sangat
friendly. Saya saja tidak bisa sefriendly itu dengan orang baru, karena
memang dasarnya saya memang dingin. Teman-teman Jogja meski tidak
seheboh Subang tapi tetap baik, saya mulai belajar menikmati hari-hari
disini. Perlahan saya mulai memasuki lingkaran teman-teman Jogja, mba
sisca, mba lia, mba nina, ria, mba paras, devita, pa'yoshua dan tentu saja orang-orang di bengkel.
SML Yogya (Mb.Sisca, Mb.Nina, and Mb.Lia) |
Tapi jogja tetap saja persinggahan, saya harus bersiap untuk penempatan
baru yang statusnya (meminjam kata mba sisca) masih abstrak. Saya
menekankan zero expectation lagi, tapi jujur saja saat ini sangat sulit.
Saya terlanjur menikmati hal-hal baik yang saya temukan sepanjang
perjalanan ini. Saya cemas dan mulai takut kalau tempat baru itu akan
sangat kontras dengan kenyamanan ini. Kecemasan yang begitu besar, jauh
lebih besar dari langkah pertama saya di Subang, lebih parah dari
perjalanan saya ke Jogja.. Bagaimanapun itu saya tetap berharap semoga pemikiran zero expectation ini tetap bersama saya, dan semoga tempat baru itu
belum akan mendekati batasan saya.
No comments:
Post a Comment