June 14, 2012

It's About Zero Expectation

Tahukah, belakangan ini saya semakin menyadari satu pelajaran berharga, yaitu bagaimana untuk menjadi orang yang be zero expectation. Ya, zero expectation atau bisa dibilang don't be too much expectation (meski beberapa orang menyatakan itu berbeda) artinya memposisikan diri untuk tidak terlalu berharap dengan suatu keadaan. Sikap seperti ini bukan berarti pasrah, tapi tetap berharap hanya saja mempersiapkan diri untuk bisa bergaul dengan semua kondisi. Menerima bukan karena tidak mau berusaha mengubah tapi memang belum memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mengubahnya.

Be zero expectation saya rasakan sangat berguna saat memutuskan untuk meninggalkan rumah dan menuntut ilmu di kota Padang. Tinggal di kos yang tidak mendukung kegiatan saya, tapi saya putuskan bertahan saat semua teman mendesak saya untuk meninggalkan rumah itu. Saya punya teman disana. Alhasil, saya terpaksa bersabar dan akhirnya berhasil keluar dengan ijazah sarjana di tangan.

View from Merdeka Square, MY
Hal ini juga semakin diuji saat saya berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Menjadi volunteer di sebuah panti asuhan India yang belum pernah saya bayangkan sedikitpun, terlebih karena satu keteledoran kecil VP saya disana (dia lupa membawa kamera) sehingga dia tidak bisa memberi gambaran real mengenai kehidupan saya disana. Beruntung saya punya teman-teman baik di AIESEC yang selalu memberikan support dan menekankan untuk don't be too much expectation dengan kehidupan kita disana. 

With Agathians Childreen and my buddy, tunit :)

Berangkat ke KL, saya sama sekali tak bisa memperkirakan kalau kehidupan disana akan menjadi sangat diversity, dengan anak-anak India dan Chinese, dan tempat tinggal kami yang sederhana. Awalnya saya berontak, tapi karena prinsip diawal tadi saya akhirnya mampu menikmati bahkan akhirnya menjadi sangat bersyukur karenanya.
Begitulah, perjalanan terus berlanjut, and now.. I call you live from Yogyakarta guys!. Hidup disini meski hanya sekejap, belum pernah saya bayangkan. Bayangan Jogja awalnya sedikit membuat cemas karena kenyamanan yang saya peroleh di Karawang dan Subang. Oh, saya belum bilang ya kalau saya berada di kota tersebut untuk menjalani training disebuah perusahaan dan sejauh ini saya sudah melewati dua kota. Persinggahan saya yang pertama, Karawang. Awalnya saya memang sudah nyaris pasrah dengan 2 minggu disana. Ternyata kondisinya cukup menyenangkan apalagi saya tinggal dengan seorang teman. KOA Karawang, mas dimmas, orangnya cukup asik dan bisa diajak bercanda. Dia juga dengan baik hati memberikan kiat-kiatnya untuk lulus tes di HO.

Yosi and I, in front of Masjid Raya Karawang
Setelah Karawang saya kembali ke Jakarta untuk tes lagi. Alhamdulillah lulus dan saya terlempar ke suatu tempat baru, Subang!. Saya bimbang karena saat itu sudah sendiri dan harus tinggal di tempat yang sama sekali asing. Saya pasrah....

 Do you know how's my life goin' then? Selalu ada hikmah dibalik kepasrahan pada Allah, kawan. I found Subang is amazing! Awalnya memang meraba-raba, tapi memang sudah seharusnya begitu kan. Kemudian saya mulai terbiasa dengan kehidupan disana, saya bahagia bisa mengenal orang-orang ini. Melihat tawa teh ovi, kelucuan teh lilis,diamnya mba dwi, keseriusan dan kelapangan kakak diana dalam membimbing saya (jujur awalnya saya berpikir ibu diana ini sudah beneran ibuk2 dan sulit didekati,hehe), pak geri yang selalu tersenyum, dan keceriaan kawan-kawan dibawah; dini, vera, buyuni, bulia dan semua karyawannya..

AML Subang (Bu'ya,T.Lilis,Dini,Vera, and Mb.Dwi)
Kebaikan mereka membuka mata saya, membuat saya sadar terkadang memiliki sikap yang zero expectation itu sangat penting dalam hidup. Mempunyai perkiraan yang nyaris nol, membuat kita menyadari pentingnya menghargai kebaikan oranglain. Memandang sesuatu dari titik terendahnya membantu kita menghargai sedikit saja pergerakan titik itu, berusaha menikmati positifnya, disisi lain menyiapkan diri dengan ke-negativan-nya. Kenapa saya bilang begitu, karena saya pun sadar, zero expectation bukan berarti positif atau negatif, mereka bisa saja menjadi negatif dan tidak menyukai keberadaan saya. Tapi toh teman-teman Subang bersikap sebaliknya, they are nice

Family of SML Subang :D
Dengan bekal perintah dari atasan di kantor, saya pindah domisili lagi, kali ini jogja jadi tujuan. Kenapa? Itulah pertanyaan dasarnya. Apa saya tidak akan ditempatkan di AML seperti kata pak GM sebelumnya? ini karena saya tahu Jogja merupakan salah satu SML terbaik saat ini. Ini sama saja artinya 75% akan ditempatkan di SML, bukan di AML seperti harapan saya. Tapi jujur, masalah sebenarnya saat itu bukan karena unitnya, bukan karena SML atau AML, tapi karena saya terlanjur nyaman dengan Subang, saya takut Jogja tidak akan senyaman disini.

Bagaimanapun, kehidupan harus terus bergulir kan.. Di perjalanan saya malam itu, dengan kereta api Taksaka Malam yang membawa saya ke Jogja saya bertekad saya akan memaksakan diri menerima kondisi disana. Saya sendiri sebenarnya juga bukan terlalu pasrah, bagi saya zero expectation juga harus punya limit, sebisa apapun saya menerima kondisi baik atau tidak baik saya tetap harus punya batasan. Setiba di Jogja kejutan pertama menunggu, ternyata mba sisca (namanya yang sama membuat saya seperti bicara dengan diri sendiri, haha) KOA Jogja ini orangnya sangat friendly. Saya saja tidak bisa sefriendly itu dengan orang baru, karena memang dasarnya saya memang dingin. Teman-teman Jogja meski tidak seheboh Subang tapi tetap baik, saya mulai belajar menikmati hari-hari disini. Perlahan saya mulai memasuki lingkaran teman-teman Jogja, mba sisca, mba lia, mba nina, ria, mba paras, devita, pa'yoshua dan tentu saja orang-orang di bengkel. 

SML Yogya (Mb.Sisca, Mb.Nina, and Mb.Lia)
Tapi jogja tetap saja persinggahan, saya harus bersiap untuk penempatan baru yang statusnya (meminjam kata mba sisca) masih abstrak. Saya menekankan zero expectation lagi, tapi jujur saja saat ini sangat sulit. Saya terlanjur menikmati hal-hal baik yang saya temukan sepanjang perjalanan ini. Saya cemas dan mulai takut kalau tempat baru itu akan sangat kontras dengan kenyamanan ini. Kecemasan yang begitu besar, jauh lebih besar dari langkah pertama saya di Subang, lebih parah dari perjalanan saya ke Jogja.. Bagaimanapun itu saya tetap berharap semoga pemikiran zero expectation ini tetap bersama saya, dan semoga tempat baru itu belum akan mendekati batasan saya.

No comments:

Post a Comment