Dua minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 Desember 2013
saya kehilangan salah satu orang penting dalam hidup saya. Beliau
adalah seorang guru, bapak, sekaligus mentor organisasi. Yap, itulah Bapak
Rahmad Syah, atau yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak Mad. Pertemuan
pertama saya terjadi saat beliau yang masih bujangan mengajar saya di Madrasah
Diniyah Awaliyah, sebuah sekolah agama formal untuk anak kelas 2 - 5 SD. Saat itu beliau memaksa kami menghapal
Alqur’an khususnya juz ‘amma sampai
dengan QS Al Buruj sebagai syarat kenaikan kelas, itu membuat saya frustasi. Kebaikan
program ini baru terasa bertahun setelah itu, ternyata metode hapalan yang
beliau gunakan sangat berguna bagi saya di bangku tsanawiyah.
Selepas MDA otomatis saya juga tidak bersinggungan dengan Pak Mad lagi, hingga akhirnya 5 tahun kemudian beliau mengajar Alqur’an saat saya Aliyah. Ada lagi muatan lokal “hapalan Qur’an” yang harus kami ikuti. Disitu akhirnya saya sadari belajar diwaktu kecil memang laksana mengukir diatas batu. Masih ingat sampai besar, hanya perlu sedikit pengulangan saja. Walhasil saya hanya perlu mengulang sedikit dan melanjutkan lagi hapalan saya. Sungguh membantu ketimbang harus mengulang lagi dari awal.
Selepas MDA otomatis saya juga tidak bersinggungan dengan Pak Mad lagi, hingga akhirnya 5 tahun kemudian beliau mengajar Alqur’an saat saya Aliyah. Ada lagi muatan lokal “hapalan Qur’an” yang harus kami ikuti. Disitu akhirnya saya sadari belajar diwaktu kecil memang laksana mengukir diatas batu. Masih ingat sampai besar, hanya perlu sedikit pengulangan saja. Walhasil saya hanya perlu mengulang sedikit dan melanjutkan lagi hapalan saya. Sungguh membantu ketimbang harus mengulang lagi dari awal.
Bapak juga
merupakan seorang mentor di organisasi dan secara personal di Ikatan Pelajar
Muhammadiyah. Pernah, saat naik kelas 2, kami sekelas pernah ditantang untuk
membuat kegiatan MOS/FORTASIS yang harus beda dari tahun sebelumnya. Tantangan itu
kami terima dengan tidak percaya diri karena dari semua orang dari kepala
sekolah sampai guru-guru pun ragu kami sanggup melakukannya. Ternyata kami
mampu menyelesaikan tantangan tersebut dan memperoleh pujian saat penutupan
kegiatan. Itu memang hanya pujian kecil, tapi bagi saya pribadi itu merupakan
hal yang sangat berarti, ketika keringat kita dihargai, terus terang itu
membangkitkan semangat saya untuk berorganisasi lagi. Lelah kami berhari-hari
rasanya terbayar hanya dengan beberapa kalimat dari bibir beliau, kebanggaan
besar bagi kami.
Kegiatan itu pula yang menguatkan rasa persaudaraan sekelas yang diberi julukan “Laskar Mentari” oleh beliau. LM yang kompak dalam belajar, bermain dan mengacau dikelas, hehe. Terakhir bertemu pun saya masih sempat ceritakan kejahilan kami dikelas dan dijawab bapak dengan kata-kata “kalau yang buruk tu jaan diajaan samo adik-adik, cukuik kalian se yang mada”, hehehe…
Kegiatan itu pula yang menguatkan rasa persaudaraan sekelas yang diberi julukan “Laskar Mentari” oleh beliau. LM yang kompak dalam belajar, bermain dan mengacau dikelas, hehe. Terakhir bertemu pun saya masih sempat ceritakan kejahilan kami dikelas dan dijawab bapak dengan kata-kata “kalau yang buruk tu jaan diajaan samo adik-adik, cukuik kalian se yang mada”, hehehe…