February 24, 2014

Pak Mad

Dua minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 Desember 2013 saya kehilangan salah satu orang penting dalam hidup saya. Beliau adalah seorang guru, bapak, sekaligus mentor organisasi. Yap, itulah Bapak Rahmad Syah, atau yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak Mad. Pertemuan pertama saya terjadi saat beliau yang masih bujangan mengajar saya di Madrasah Diniyah Awaliyah, sebuah sekolah agama formal untuk anak kelas 2 -  5 SD. Saat itu beliau memaksa kami menghapal Alqur’an khususnya juz ‘amma sampai dengan QS Al Buruj sebagai syarat kenaikan kelas, itu membuat saya frustasi. Kebaikan program ini baru terasa bertahun setelah itu, ternyata metode hapalan yang beliau gunakan sangat berguna bagi saya di bangku tsanawiyah. 

Selepas MDA otomatis saya juga tidak bersinggungan dengan Pak Mad lagi, hingga akhirnya 5 tahun kemudian beliau mengajar Alqur’an saat saya Aliyah. Ada lagi muatan lokal “hapalan Qur’an” yang harus kami ikuti. Disitu akhirnya saya sadari belajar diwaktu kecil memang laksana mengukir diatas batu. Masih ingat sampai besar, hanya perlu sedikit pengulangan saja. Walhasil saya hanya perlu mengulang sedikit dan melanjutkan lagi hapalan saya. Sungguh membantu ketimbang harus mengulang lagi dari awal.

Oh iya, ada sedikit kejadian lucu saat saya belajar dengan bapak. Saat itu saya diusir keluar kelas hanya karena alasan sepele. Penyebabnya karena teman yang ada didepan saya, kebetulan dia agak kurus, dia memutar badannya kebelakang dan mengeluarkan bunyi “klik”. Saya tertawa sendiri, membayangkan kalau sekiranya ada tulangnya yang patah karena diputar tadi. Tawa yang tidak bisa saya kendalikan, hingga mengganggu kelas. Saya pun ditanya kenapa tertawa sendiri, dan bodohnya saat itu saya masih belum bisa berhenti tertawa, setelah diancam keluarpun tidak berpengaruh menghentikan tawa saya hingga akhirnya saya benar-benar disuruh keluar kelas.

Bapak juga merupakan seorang mentor di organisasi dan secara personal di Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Pernah, saat naik kelas 2, kami sekelas pernah ditantang untuk membuat kegiatan MOS/FORTASIS yang harus beda dari tahun sebelumnya. Tantangan itu kami terima dengan tidak percaya diri karena dari semua orang dari kepala sekolah sampai guru-guru pun ragu kami sanggup melakukannya. Ternyata kami mampu menyelesaikan tantangan tersebut dan memperoleh pujian saat penutupan kegiatan. Itu memang hanya pujian kecil, tapi bagi saya pribadi itu merupakan hal yang sangat berarti, ketika keringat kita dihargai, terus terang itu membangkitkan semangat saya untuk berorganisasi lagi. Lelah kami berhari-hari rasanya terbayar hanya dengan beberapa kalimat dari bibir beliau, kebanggaan besar bagi kami. 

Kegiatan itu pula yang menguatkan rasa persaudaraan sekelas yang diberi julukan “Laskar Mentari” oleh beliau. LM yang kompak dalam belajar, bermain dan mengacau dikelas, hehe. Terakhir bertemu pun saya masih sempat ceritakan kejahilan kami dikelas dan dijawab bapak dengan kata-kata “kalau yang buruk tu jaan diajaan samo adik-adik, cukuik kalian se yang mada”, hehehe…

Siapa sangka, seminggu pertemuan yang cukup intens itu merupakan minggu terakhir beliau di dunia. Dalam minggu terakhir itu pula Bapak banyak sekali berpesan pada saya dan Nita, ada beberapa kalimat dari beliau yang membuat saya berpikir keras dan memaksa saya untuk merombak kembali resolusi saya tahun ini. Semester pertama tahun ini saya hanya ingin memberikan kontribusi di tempat yang (baru saya sadari saat beliau wafat) diamanahkannya pada kami. Mungkin sebagian orang akan berpikir saya lebay, saya bodoh, saya tidak berpikir panjang. Tapi hati saya sudah yakin dan disananalah saya sekarang. Banyak sekali yang dipesankannya malam itu, dan pada akhirnya saya harus terima dengan lapang dada bahwa itu adalah wasiat. Jujur kawan, masih sulit untuk katakan beliau telah pergi, rasanya Pak Rahmad itu seperti pergi liburan saja dan esok akan bertemu lagi.

Setelah sekian lama tidak bertemu saya tidak menyangka sama sekali seminggu terakhir itu Allah berikan kesempatan lagi untuk bercerita dengan beliau. Bahkan sampai saat saya menulis ini rasanya masih tidak percaya “he is not here already”. Rasanya ganjil saat tidak bisa bercengkrama lagi, bahkan melihat makam itu rasanya masih asing saja. Memang, ajal itu rahasia Allah. Selamat Jalan Bapak, kami yang tinggal hanya bisa berdo’a semoga Bapak memperoleh husnul khotimah dan ditempatkan ditempat terbaik disisi-Nya…

Solok, 9 Jan 2014
(ditulis sebagai bahan renungan dan kenangan indah dari seorang guru yang kami sayangi, 
Bapak Rahmad Syah S.Ag, M.Pd)

No comments:

Post a Comment